Dinsdag 05 Maart 2013

cerpen


Tangisan Senja
Oleh afrianti

NAMANYA Unyil. Berumur sekitar 30 tahunan. Setiap hari dan setiap pagi kerjanya merayau entah kemana. Ia selalu mengitari 90 derajat rumah kami. Awalnya aku takut kalau-kalau dia seorang penjahat. Dari tampangnya bisa dikatakan ia seorang penjahat kelas kakap. Bisa-bisa jika salah satu diantara kami sendirian, dia akan masuk kerumah kami dan memperkosa kami. Itulah pikiran jahat yang merayap dibenakku. Dari arah belakang rumah,ia selalu mendapatkan hasil. Terkadang sayur-sayuran yang segar, kayu bakar, dan entah apa lagi. Aku teringat masa jadul yang membawa barang-barang seperti itu untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Terkadang tersenyum sendiri melihat tingkahnya.
            Rumahnya tidak jauh dari rumah kami. Rumahnya bagus. Dengan keramik bercak biru muda. Dinding tembok dan lumayan besa. Itulah yang pernah diceritakan oleh temenku. Aku selalu mengintip apa yang dilakukannya saat
mengitari rumah kami dan pergi kearah belekang rumah. Ternyata disana ada kebun kecil yang tak seberapa luas. Dia seakan menemui dunianya jika sudah berada disana.
            Pernah suatu ketika tetanggaku menceritakan tentang keanehannya. Ia memesak gulai insang asam pedas. Insang dari ikannya tidak dibuang, ia masak. “lobak,” katanya. Aku menjadi jiji mendengarnya, padahal ingsang itukan rasanya sama sekali tidak enak. Terkadang bisa membuat rasa ikan dan gulai hambar dan pahit. Apalagi ia hanya memasak ingsang itu tanpa ada campuran ikan atau lainnya. Entahlah.lagi-lagi ia selalu menimbulkan rasa aneh dilihatnya.
            Hari-hari aku tidak lagi merasa was-was, karena ia sama sekali tidak berniat jahat. Tapi, setidaknya kami mesti hati-hati. Entah niat busuknya timbul setelah ada kesempatan yang datang.
            Pagi ini menyisakan gerimis yang panjang. Ketika aku membuka pintu  belakang rumah,aku dikejutkan oleh wajahnya yang misterius itu. “kamu sedang apa disana?” Lalu dijawabnya entah dengan bahasa pelanet apa yang dikeluarkan. Aku tidak paham, tapi manggut-manggut puar-pura paham. Setelah kuselidiki ternyata dia ciptaan Allah yang diberi kelebihan yang lain dari pada yang lain. Tingkah lakunya yang aneh membuat semua orang menjauhinya.
Senja mulai bersapa dengan pelangi. Sore yang indah. Dari bisikan angin aku mendengar desiran tangis yang hambar. Kupasang telingaku tajam-tajam supaya bisa mendengar suara itu dengan jernih. Dari kejauhan kulihat punggung leleki yang menatap langit. Ia menangis sesekukan. “siapakah dia?” bisikku dihati. Pekik seorang temanku membuyarkan perhatianku terhadap sosokknya.
“copeklah ciouk! Hari dah sonjou ni, tolambek awak beko!”. “Lai.....sabantaou!” Dengan sigap aku mendekati teman-temanku.
***
Terkadang hidup merupakan tangisan. Dan tangisan itu sangat berarti. Air mata selalu menemani kita, dalam keadaan bahagia, maupun duka. Tapi, pernahkah orang mendengar tangisan kita yang berbicara? Setidaknya, mendengar apa yang ia inginkan dalam hidupnya.
Kembali aku mendengar tangisan itu. Tangisan senja. Entah berasal dari mana. Mungkin tangisan anak tetangga. Tapi, tangisan itu mendayu-dayu dari arah kebun belakang rumahku. Dari kebunnya Unyi. Mungkinkah Unyil yang selalu menangis disana? Entahlah. Lagi-lagi keanehan yang kutemui dirumah baruku ini.
Unyil ternyata seorang idiot. Tapi, ia juga punya mimpi, mimpinya bukan ingin hidup normal seperti teman-temannya yang lain. Ibunya telah tiada. Ia hidup dengan neneknya yang sudah renta ditelan waktu. Ia selalu tersenyum ketika orang mencacinya. Tapi,ia sangat rajin sehingga tidak sedikit juga orang meminta pertolongan darinya. Walaupun dia seorang idiot, ia masih punya mimpi. Ia bisa berguna untuk orang banyak.
Di kebun ini , ia selalu melihat mimpinya lewat derai-derai air mata yang tak sadar jatuh melalui kelopak matanya. Apalagi ketika hujan  tidak jadi. Karena disana mimpinya akan muncul. Ia senang melihat pelangi senja yang berwarna-warni. Terkadang ingin ia petik untuk dibawa pulang memenuhi kamarnya yang kecil.
Sebelum matahari menghitam, sebelum langit muram, sebelum semesta alam mulai menunjukkan keangkuhan, kukatakan pada waktu yang demikian beku, “mengapa tangis tidak bisa merubah keadaan?”
Ia mencari-cari hingga matahari terbenam dibelakang sebatang pohon. Di sana, hatiku menggigil melihat orang yang dipanggil Unyil ditelan gulita. Ia pun nanar menatap senja yang baru senja tiba.  Terbaring dimakam yang selama ini ia gali. Ia tersenyum berkata, “Di sini aku bisa melihat mimpi”.
***

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking