Tangisan Senja
Oleh
afrianti
NAMANYA
Unyil. Berumur sekitar 30 tahunan. Setiap hari dan setiap pagi kerjanya merayau
entah kemana. Ia selalu mengitari 90 derajat rumah kami. Awalnya aku takut
kalau-kalau dia seorang penjahat. Dari tampangnya bisa dikatakan ia seorang
penjahat kelas kakap. Bisa-bisa jika salah satu diantara kami sendirian, dia
akan masuk kerumah kami dan memperkosa kami. Itulah pikiran jahat yang merayap
dibenakku. Dari arah belakang rumah,ia selalu mendapatkan hasil. Terkadang
sayur-sayuran yang segar, kayu bakar, dan entah apa lagi. Aku teringat masa
jadul yang membawa barang-barang seperti itu untuk memenuhi kehidupan
sehari-hari. Terkadang tersenyum sendiri melihat tingkahnya.
Rumahnya tidak jauh dari rumah kami.
Rumahnya bagus. Dengan keramik bercak biru muda. Dinding tembok dan lumayan
besa. Itulah yang pernah diceritakan oleh temenku. Aku selalu mengintip apa
yang dilakukannya saat
mengitari rumah kami dan pergi kearah belekang rumah. Ternyata disana ada kebun kecil yang tak seberapa luas. Dia seakan menemui dunianya jika sudah berada disana.
mengitari rumah kami dan pergi kearah belekang rumah. Ternyata disana ada kebun kecil yang tak seberapa luas. Dia seakan menemui dunianya jika sudah berada disana.
Pernah suatu ketika tetanggaku
menceritakan tentang keanehannya. Ia memesak gulai insang asam pedas. Insang
dari ikannya tidak dibuang, ia masak. “lobak,” katanya. Aku menjadi jiji
mendengarnya, padahal ingsang itukan rasanya sama sekali tidak enak. Terkadang
bisa membuat rasa ikan dan gulai hambar dan pahit. Apalagi ia hanya memasak
ingsang itu tanpa ada campuran ikan atau lainnya. Entahlah.lagi-lagi ia selalu
menimbulkan rasa aneh dilihatnya.
Hari-hari aku tidak lagi merasa
was-was, karena ia sama sekali tidak berniat jahat. Tapi, setidaknya kami mesti
hati-hati. Entah niat busuknya timbul setelah ada kesempatan yang datang.
Pagi ini menyisakan gerimis yang
panjang. Ketika aku membuka pintu
belakang rumah,aku dikejutkan oleh wajahnya yang misterius itu. “kamu
sedang apa disana?” Lalu dijawabnya entah dengan bahasa pelanet apa yang
dikeluarkan. Aku tidak paham, tapi manggut-manggut puar-pura paham. Setelah
kuselidiki ternyata dia ciptaan Allah yang diberi kelebihan yang lain dari pada
yang lain. Tingkah lakunya yang aneh membuat semua orang menjauhinya.
Senja mulai bersapa dengan pelangi. Sore yang indah. Dari
bisikan angin aku mendengar desiran tangis yang hambar. Kupasang telingaku
tajam-tajam supaya bisa mendengar suara itu dengan jernih. Dari kejauhan
kulihat punggung leleki yang menatap langit. Ia menangis sesekukan. “siapakah
dia?” bisikku dihati. Pekik seorang temanku membuyarkan perhatianku terhadap
sosokknya.
“copeklah ciouk! Hari dah sonjou ni, tolambek awak beko!”.
“Lai.....sabantaou!”
Dengan sigap aku mendekati teman-temanku.
***
Terkadang hidup merupakan tangisan. Dan tangisan itu sangat
berarti. Air mata selalu menemani kita, dalam keadaan bahagia, maupun duka.
Tapi, pernahkah orang mendengar tangisan kita yang berbicara? Setidaknya,
mendengar apa yang ia inginkan dalam hidupnya.
Kembali aku mendengar tangisan itu. Tangisan senja. Entah
berasal dari mana. Mungkin tangisan anak tetangga. Tapi, tangisan itu
mendayu-dayu dari arah kebun belakang rumahku. Dari kebunnya Unyi. Mungkinkah
Unyil yang selalu menangis disana? Entahlah. Lagi-lagi keanehan yang kutemui
dirumah baruku ini.
Unyil ternyata seorang idiot. Tapi, ia juga punya mimpi,
mimpinya bukan ingin hidup normal seperti teman-temannya yang lain. Ibunya
telah tiada. Ia hidup dengan neneknya yang sudah renta ditelan waktu. Ia selalu
tersenyum ketika orang mencacinya. Tapi,ia sangat rajin sehingga tidak sedikit
juga orang meminta pertolongan darinya. Walaupun dia seorang idiot, ia masih
punya mimpi. Ia bisa berguna untuk orang banyak.
Di kebun ini , ia selalu melihat mimpinya lewat derai-derai
air mata yang tak sadar jatuh melalui kelopak matanya. Apalagi ketika hujan tidak jadi. Karena disana mimpinya akan
muncul. Ia senang melihat pelangi senja yang berwarna-warni. Terkadang ingin ia
petik untuk dibawa pulang memenuhi kamarnya yang kecil.
Sebelum matahari menghitam, sebelum langit muram, sebelum
semesta alam mulai menunjukkan keangkuhan, kukatakan pada waktu yang demikian
beku, “mengapa tangis tidak bisa merubah keadaan?”
Ia mencari-cari hingga matahari terbenam dibelakang sebatang
pohon. Di sana, hatiku menggigil melihat orang yang dipanggil Unyil ditelan
gulita. Ia pun nanar menatap senja yang baru senja tiba. Terbaring dimakam yang selama ini ia gali. Ia
tersenyum berkata, “Di sini aku bisa melihat mimpi”.
***
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking